Jakarta, Berita Nusantara 89. Konten AI melalui media sosial kini memberi ruang baru buat rakyat menyampaikan kritik terhadap pemerintah tanpa rasa cemas. Lewat media generatif seperti video dan suara sintetis, masyarakat semakin terbuka menyampaikan pendapat publik tanpa harus langsung terekspos.
Masyarakat menciptakan konten kritik terhadap kebijakan dan pejabat publik dengan nuansa satir atau penggambaran situasi seolah nyata. Konten semacam ini mendorong dialog sosial yang sebelumnya sulit terjadi, karena penyampaian bisa bersifat anonim atau berkedok fiktif. Dengan demikian, kritik muncul lebih banyak dan variatif.
Meski memberi efek positif, muncul pula perhatian serius terkait etika penggunaan AI. Praktisi menekankan pentingnya memberi label pada konten AI agar penonton tahu bahwa itu kreasi simulasi, bukan bukti pandangan atau peristiwa nyata. Upaya semacam ini penting karena sebagian besar masyarakat masih memiliki literasi digital rendah. Oleh sebab itu, batas antara kritik konstruktif dengan disinformasi bisa jadi kabur.
Konten AI : Regulasi Masih Terbatas
Sementara itu, regulasi yang mengatur konten AI masih sangat terbatas. Hingga kini, Indonesia belum punya undang-undang khusus AI. Rujukan hukum yang selama ini tetap UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi. Namun sebagian orang menilai bahwa pendekatan represif terhadap kritik lewat UU ITE justru kontraproduktif terhadap kebebasan berpendapat—khususnya konten dengan teknologi AI.
Pelaku konten AI harus hati-hati menghindari penyebaran data pribadi yang sensitif, terutama di luar konteks pejabat publik. Regulasi UU Perlindungan Data tidak bisa menggunakannya secara berlebihan untuk menjerat konten kritis terhadap pejabat. Karena itu, pendekatan yang lebih dialogis dan edukatif lebih tepat ketimbang kriminalisasi.
Selain itu, muncul kekhawatiran bahwa pemerintah cenderung bersikap defensif dan anti-kritik. Dalam berbagai kasus, sering menggunakan UU ITE untuk membungkam kritik tajam dari warganet dan aktivis. Beberapa figur publik bahkan menggunakan bahasa ofensif saat menanggapi kritik. Sikap semacam ini justru menimbulkan efek menakut-nakuti, membuat sebagian warga lebih memilih diam daripada bersuara.
Peluang dan Tantangan
Dalam lanskap digital yang semakin luas, perkembangan generatif AI membuka peluang sekaligus tantangan. Salah satu manfaatnya adalah memungkinkan warga menyampaikan pandangan tanpa rasa takut di zona anonim. Menyalahgunakan AI untuk menyebarkan narasi palsu atau menjelekkan pihak tertentu sangat mungkin terjadi tanpa dasar etis.
Oleh karena itu, optimisasi penggunaan AI untuk kritik sosial butuh dukungan berbagai pihak. Lembaga pemerintah, akademisi, dan komunitas teknologi perlu merancang regulasi dan panduan etis. Tujuannya adalah menciptakan ekosistem digital yang sehat, menyampaikan kritik dengan bertanggung jawab tanpa melanggar hukum dan sekaligus meminimalkan penyalahgunaan teknologi.
Dengan pendekatan yang tepat, AI berpotensi memperkuat kontrol sosial terhadap kekuasaan. Rakyat kini memiliki suara lebih beragam dan berani. Apalagi dalam sistem demokrasi, kontrol melalui kritik adalah motor utama perubahan. Jika menyalurkannya dengan etis, konten AI mampu memperluas aspirasi publik tanpa menciptakan kekacauan.
Pada akhirnya, perubahan pola kritik ini mencerminkan evolusi demokrasi digital. Ketika warga merasa aman mengkritik, ruang publik semakin hidup. AI menjadi media ekspresi yang memungkinkan partisipasi lebih luas. Kini tantangannya bukan mengekang kritik, melainkan memastikan penggunaan teknologi berlangsung dengan penuh tanggung jawab dan literasi.