Jombang, Berita Nusantara 89. — Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) tidak hanya memicu protes di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Sejumlah daerah lain juga mengalami lonjakan tarif yang tidak wajar, bahkan mencapai ribuan persen, sehingga memunculkan gelombang keluhan warga.
Kenaikan Drastis PBB-P2 di Beberapa Wilayah
Jombang, Jawa Timur
Sejak 2024, sebagian warga Jombang menghadapi kenaikan PBB-P2 hingga lebih dari 1.200 persen. Dalam sejumlah kasus, tarif pajak yang semula ratusan ribu rupiah melonjak hingga belasan juta rupiah. Pemerintah daerah merespons dengan membentuk tim khusus untuk menampung aduan. Hingga Agustus 2025, tercatat lebih dari 16 ribu permohonan penurunan tarif masuk ke meja pemkab. Kenaikan ini sebagai konsekuensi penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkan survei tahun 2022, di mana sebagian objek pajak mengalami lonjakan besar, sementara lainnya justru turun.
Cirebon, Jawa Barat
Kisah serupa terjadi di Cirebon. Seorang warga lanjut usia mengaku kaget ketika PBB rumahnya naik dari sekitar Rp 6,2 juta menjadi Rp 65 juta hanya dalam satu tahun, atau lebih dari 1.000 persen. Namun, ada juga warga yang hanya mengalami kenaikan ringan, misalnya dari Rp 80 ribu menjadi Rp 141 ribu. Pemerintah daerah setempat menyatakan penyesuaian tarif mengikuti pemetaan zona nilai tanah.
Ambarawa, Kabupaten Semarang
Seorang wanita berusia 69 tahun di Ambarawa mendapati PBB rumah milik budenya melonjak 441 persen, dari Rp 160 ribu menjadi Rp 872 ribu. Kenaikan ini terkait dengan perubahan zonasi nilai tanah, terutama pada properti yang berada di lokasi strategis atau dekat akses jalan utama.
Bone, Sulawesi Selatan
Di Bone, kabar awal menyebut kenaikan PBB-P2 mencapai 300 persen, memicu keresahan warga. Namun, pemerintah kabupaten mengklarifikasi bahwa rata-rata kenaikan hanya sekitar 65 persen, dan sifatnya tidak merata. Penyesuaian ini berdasarkan klasifikasi wilayah.
Pati, Jawa Tengah
Di Pati, kebijakan kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen menuai protes besar-besaran. Massa menuntut pembatalan kenaikan dan mendesak Bupati Sudewo untuk mundur. Tekanan publik yang semakin kuat membuat pemerintah daerah akhirnya membatalkan kebijakan tersebut. Warga yang sudah membayar tarif tinggi akan mendapatkan pengembalian sesuai prosedur.
Respons Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat menegaskan bahwa kewenangan penetapan tarif PBB berada di tangan pemerintah daerah dan harus melalui persetujuan DPRD setempat. Kenaikan tarif yang terjadi di berbagai daerah bukan akibat efisiensi anggaran pusat, melainkan hasil penyesuaian NJOP oleh pemerintah daerah masing-masing.
Pejabat terkait menyatakan, kenaikan tarif PBB memang bisa terjadi signifikan jika hasil survei nilai tanah menunjukkan perbedaan besar dari tahun sebelumnya. Namun, daerah agar melakukan sosialisasi yang memadai agar masyarakat memahami dasar perhitungannya.
Fenomena kenaikan PBB-P2 ini memicu diskusi nasional tentang keseimbangan antara kebutuhan pendapatan daerah dan kemampuan bayar masyarakat. Beberapa kalangan menilai penyesuaian tarif seharusnya secara bertahap untuk menghindari beban berat mendadak bagi warga.