Jakarta, Berita Nusantara 89. Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun ke‑80 Republik Indonesia, masyarakat Indonesia ramai-ramai memasang bendera Jolly Roger—lambang bajak laut dalam serial anime One Piece—di sudut rumah, truk, motor, dan bahkan tiang bendera. Simbol hitam dengan tengkorak berkepala topi jerami tersebut kerap berkibar bersama atau di bawah bendera Merah Putih.
Fenomena ini memicu diskusi publik: apakah tersebut sekadar tren budaya pop atau wujud kritik terselubung terhadap kondisi sosial-politik. Sejumlah warga menyematkan simbol Jolly Roger sebagai ekspresi kekecewaan terhadap ketidakadilan sistem hukum dan praktik korupsi yang belum adil.
Bendera One Piece : Ekspresi Politik dalam Budaya Pop
Banyak pengibar menilai Jolly Roger menyiratkan kebebasan dan semangat perlawanan terhadap kendali yang mengekang, sebagaimana dalam One Piece. Luffy dan kru bajak lautnya melawan rezim dunia yang korup. Simbol ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Generasi muda memanfaatkan budaya pop untuk mengomunikasikan kritik sosial dengan cara santai namun menyentil. Mereka menganggap pengibaran bendera One Piece sebagai bentuk satire kolektif yang memuat pesan kuat tanpa mengucap secara eksplisit.
Melampaui Sekadar Iseng
Fenomena ini bukan sekadar lelucon. Para pengibar melihat simbol tersebut sebagai representasi voice of the people—ungkapan keresahan secara simbolik. Ketika hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, Warga menutup layar dan membentangkan bendera sebagai respons kreatif atas ketidakadilan yang mereka amati.
Penggunaan simbol ini menyiratkan protes tanpa orasi panjang ataupun aksi massa. Sebaliknya, kreativitas dalam penyampaian kritik justru menambah bobot maksud di balik pengibaran lambang bajak laut tersebut.
Pro Kontra Bendera One Piece Mengemuka
Fenomena ini memicu dua reaksi: sebagian melihatnya sebagai kritik halus namun kuat, sebagian lain menganggap tindakan ini sebatas “gaya‑gayaan” tanpa makna istimewa. Banyak yang mempertanyakan: apakah ini bentuk protes nyata atau hanya tren pop culture yang berlebihan?
Beberapa pengibar memilih Jolly Roger karena merasakan bendera nasional telah kehilangan makna simbolisnya. Mereka menilai simbol resmi negara terlalu “suci” untuk dikibarkan pada kondisi kenyataan bangsa yang jauh dari cita-cita pendiri negara.
Jolly Roger kemudian menjadi simbol alternatif yang lebih merepresentasikan perlawanan terhadap sistem yang gagal. Penilaian ini mencuat di media sosial, di mana netizen membagikan foto bendera bajak laut ini di berbagai lokasi sebagai bentuk protes visual.
Kekhawatiran Pemerintah
Fenomena ini sempat memicu perhatian pihak berwenang, yang menyoroti potensi provokasi melalui simbol tersebut. Mereka mengingatkan agar masyarakat berhati-hati, karena penggunaan simbol yang terkait dengan perlawanan sering menafsirkannya sebagai bentuk makar atau gangguan terhadap ketertiban umum.
Uniknya, kritik ini berjalan tanpa kata; warganet memilih meme, unggahan, dan simbol budaya populer sebagai penghubung emosi kolektif. Mereka menyampaikan suara kolektif melalui ekspresi visual, bukan pidato atau debat panjang.
Kini, perhatian publik tertuju pada pertanyaan besar: apakah pengibaran Jolly Roger merupakan gejala kesadaran kritis rakyat terhadap lemahnya hukum, atau sekadar ajang viral tanpa konten substansial?