Jakarta, Berita Nusantara 89. Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, tengah menghadapi gugatan perdata dengan nilai fantastis sebesar Rp 125 triliun. Lebih Jauh gugatan tersebut oleh seorang warga bernama Subhan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain Gibran, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga turut menjadi pihak tergugat.
Gugatan Mengenai Ijazah SMA Gibran
Perkara ini telah terdaftar dengan nomor 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst sejak 29 Agustus 2025. Jadwal sidang perdana berlangsung pada 8 September 2025. Dalam gugatan itu, penggugat menuduh Gibran dan KPU melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) yang merugikan negara. Atas dasar itu, ia menuntut ganti rugi materiil dan immateriil sebesar Rp 125 triliun untuk masuk ke kas negara.
Pokok gugatan berfokus pada persoalan pendidikan Gibran. Subhan berargumen bahwa Gibran tidak menempuh pendidikan setingkat SMA di Indonesia sebagaimana dalam Undang-Undang Pemilu. Berdasarkan catatan KPU, Gibran menyelesaikan pendidikan menengahnya di luar negeri, yakni di Orchid Park Secondary School, Singapura (2002–2004) dan UTS Insearch, Sydney, Australia (2004–2007).
Menurut penggugat, ijazah luar negeri tersebut tidak otomatis setara dengan ijazah SMA dalam sistem pendidikan Indonesia. Ia menilai KPU tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan kesetaraan ijazah itu, sehingga pencalonan Gibran sebagai wakil presiden cacat hukum.
Subhan menegaskan bahwa gugatan ini merupakan murni inisiatif pribadi. Ia mengaku tidak mewakili kelompok politik manapun dan tidak mendapat sponsor tertentu. Tuntutan berupa ganti rugi ke kas negara, bukan ke kantong pribadi, sebagai bukti bahwa tujuan utama adalah penegakan hukum dan keadilan.
“Ini murni persoalan hukum, tidak ada motif politik. Saya hanya ingin penegakan aturan ,” ujarnya dalam keterangannya.
Sidang Perdana
Sidang perdana yang pada 8 September 2025 akan menyedot perhatian luas. Sebagai wakil presiden sekaligus putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran memiliki posisi strategis dalam pemerintahan. Karena itu, gugatan ini berimplikasi besar terhadap kredibilitas lembaga negara, terutama terkait integritas penyelenggaraan Pemilu 2024 lalu.
Meski baru memasuki tahap awal, kasus ini sudah menimbulkan perbincangan hangat di masyarakat. Beberapa kalangan menilai gugatan ini berlebihan karena nilai tuntutan sangat besar, mencapai Rp 125 triliun. Namun, ada pula yang mendukung langkah hukum tersebut sebagai bentuk pengawasan terhadap pejabat negara agar memenuhi syarat administrasi sesuai undang-undang.
Pengamat hukum menilai perkara ini akan menguji sejauh mana kewenangan KPU dalam memverifikasi ijazah calon presiden dan wakil presiden, khususnya jika ijazah tersebut dari luar negeri. Jika hakim mengabulkan sebagian atau seluruh gugatan, hal itu bisa menjadi preseden hukum baru dalam tata kelola pemilu di Indonesia.