Surabaya, Berita Nusantara 89. Mahkamah Agung resmi mengangkat kembali Itong Isnaeni Hidayat, mantan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang pernah menjalani lima tahun penjara, menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di pengadilan yang sama. Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan yang terbit pada 7 Agustus 2025, dan kini telah ada di PN Surabaya.
Humas PN Surabaya, S. Pujiono, mengonfirmasi bahwa pimpinan pengadilan belum memanggil Itong untuk bertugas. Formasi penempatannya juga masih menunggu keputusan dari Ketua PN Surabaya sesuai kebutuhan institusi. “SK-nya baru, namun yang bersangkutan belum aktif—penempatan berdasarkan formasi yang kosong,” jelasnya.
Kontroversi Mantan Hakim Itong : Vonis Bebas Koruptor Hingga OTT KPK
Langkah ini memicu kontroversi tajam di kalangan publik dan pegiat antikorupsi. Laporan menyebutkan bahwa ketika menjabat sebagai hakim PN Surabaya dan sebelumnya bertugas di PN Tanjungkarang Lampung, Itong pernah menjadi sorotan karena memvonis bebas dua mantan bupati korupsi—Satono (Lampung Timur) dengan nilai kerugian Rp119 miliar dan Andy Achmad Sampurna Jaya (Lampung Tengah) sebesar Rp28 miliar. Keputusan itu mendapat kritik, Mahkamah Agung sebagai pelanggaran kode etik, dan menyebabkan Itong mendapat skors dari tugas ke Pengadilan Tinggi Bengkulu.
Selain itu, pada awal 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi pernah menangkapnya melalui operasi tangkap tangan terkait suap perkara perdata pembubaran PT Soyu Giri Primedika. Proses pengadilan kemudian menjatuhkan vonis lima tahun penjara serta denda dan membayar uang pengganti. Permohonan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung tolak pada akhir 2023, sehingga hukuman tersebut tetap berkekuatan hukum tetap.
Pengangkatan kembali Itong sebagai PNS memicu kekhawatiran atas potensi merusak integritas sistem peradilan. Ketua Bidang Hukum LSM LIRA Jawa Timur, Wiwid Tuhu, menyatakan bahwa langkah tersebut bertentangan dengan aturan ASN. Ia menegaskan bahwa peraturan menyatakan bahwa terpidana pidana penjara minimal dua tahun tidak boleh sebagai ASN. Bahkan, status ASN yang telah menjalani tahanan seharusnya pecat secara tak hormat. Dengan demikian, menurut Wiwid, SK pengangkatan ini cacat hukum dan maladministrasi.
Lebih lanjut, Wiwid menyampaikan bahwa pengembalian mantan terpidana korupsi ke lembaga peradilan sangat berisiko mencederai kepercayaan publik. Ia menilai bahwa Mahkamah Agung perlu memberikan klarifikasi resmi sesegera mungkin agar persepsi pembiaran atau pelanggaran integritas tidak terus berkembang.
Sementara itu, keberadaan Itong di PN Surabaya akan menjadi tambang pekerjaan rumah hukum dan etika bagi pengelola peradilan.