Magetan, Berita Nusantara 89. Pemerintah sudah menurunkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi sejak 22 Oktober 2025. Katanya untuk meringankan beban petani. Tapi di Kabupaten Magetan, bukannya harga turun, yang naik justru kreativitas kelompok tani (poktan) dalam menghitung untung.
Di lapangan, pupuk subsidi masih mejadi jualan “barang mahal” dengan gaya toko modern ada markup, ongkos kirim, bahkan “biaya manajemen”. Bukan petani yang panen hasil kebijakan ini, tapi justru pengurus poktan yang panen cuan.
Pupuk Subsidi Turun, Tapi Di Magetan Tetap Mahal ?
“Katanya pupuk turun harga, tapi tetap saja mahal. Dulu sebelum turun Rp150 ribu persak, kini turun tetap mahal, Rp135 ribu per sak,” keluh seorang petani asal Kecamatan Parang, Senin (3/11/2025).
Padahal, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 1117/Kpts/SR.310/M/10/2025, harga resmi pupuk bersubsidi per sak seharusnya hanya :
Urea : Rp 90.000 (50 kg).
NPK Phonska : Rp 92.000 (50 kg).
NPK Kakao : Rp132.000 (50 kg).
ZA : Rp 68.000 (50 kg).
Organik Petroganik : Rp 25.600 (40 kg).
Angka itu jelas jauh di bawah harga jual oleh poktan di tingkat desa. Tapi apa daya, petani butuh pupuk, sementara kelompok tani kini memegang kendali stok. Yang bersubsidi pun jadi berasa premium edition.
Kelompok Tani Mengejar Untung Pupuk Subsidi
Di wilayah Parang, Lembeyan, dan Kawedanan, Magetan sejumlah poktan kini bertransformasi — bukan jadi kelompok tani, tapi toko pupuk berlabel gotong royong.
Contohnya Poktan di Desa Ngaglik, Parang. Dengan 250 anggota dan jatah 36 ton pupuk per tahun, mereka menjual pupuk Urea dan Phonska di harga Rp135 ribu per sak.
Alasannya klasik yaitu ongkos angkut, sewa mobil, upah kuli, dan biaya operasional. Tapi selisih harga hingga Rp 22.000 ribu per sak bikin banyak petani geleng kepala.
“Kalau beda sedikit masih wajar. Tapi kalau sampai puluhan ribu, itu bukan ongkos gendong, itu ongkos nguntungin pengurus,” sindir seorang petani.
Ironisnya, kelompok yang seharusnya jadi wadah saling bantu, kini justru jadi wadah saling jual. Petani jadi pembeli, pengurus jadi pedagang. Solidaritas berubah jadi transaksi.
Tujuan subsidi pupuk sederhana membantu petani. Tapi di beberapa poktan, yang terbantu justru pengurusnya sendiri.
Keluhan demi keluhan muncul dari harga markup, pembagian bantuan yang tak transparan, sampai dugaan bahwa bantuan aspirasi dewan (pokir) hanya mampir di meja pengurus.
“Banyak yang nggak tahu kalau kelompoknya dapat bantuan. Semuanya ditutup-tutupi,” ujar salah satu petani Parang.
Kongkalikong Lokal
Lebih parah lagi, muncul desas-desus kongkalikong antara oknum poktan dan pegawai Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Distribusi pupuk dan bantuan seperti “dikondisikan” agar menguntungkan pihak tertentu.
Kalau benar, maka subsidi ini bukan lagi soal pupuk tapi soal relasi ekonomi baru antara pengurus, oknum, dan petani yang tak berdaya. Para petani pun menuntut satu hal sederhana: keadilan dan transparansi. Mereka ingin agar pegawai yang diduga bermain segera dipindah dan pengurus poktan diaudit, sebelum “subsidi” berubah jadi “sumbangan wajib”.
Kebijakan HET baru seharusnya membuat petani tersenyum. Tapi nyatanya, pupuk murah itu hanya ada di brosur dan berita resmi. Di ladang, harga tetap mencekik.
“Kalau kios resmi bisa jual sesuai HET tapi poktan malah nambah harga, ya kebijakan ini cuma jadi pajangan,” kata Bini, petani Parang.
Realitanya, pupuk subsidi kini seperti ilusi: ada di data, tak terasa di sawah. Kebijakan yang mestinya menyejukkan malah jadi bahan bakar sinisme sebab subsidi yang salah urus hanya akan menumbuhkan kerak, bukan rumput hijau.
Kalau tak segera diawasi, kebijakan pupuk ini bisa jadi ladang baru bukan untuk menanam padi, tapi untuk menanam keuntungan pribadi. *









